Thursday, 5 February 2015

Merasakan Langsung Efek dari Delayed Cord Clamping dan Sentuhan Ibu

Tahun lalu, mungkin bulan 6 atau 7 kallotusau tidak salah. Saya lupa pastinya bulan apa. Waktu saya menggantikan posisi teman untuk mendampingi persalinan di kliniknya, karena beliau juga sedang berprogress melahirkan. Kebetulan saya sedang membantu mengisi kelas kehamilan di kliniknya, sehingga saya harus bermalam di sana.

Saya masih ingat betul, waktu itu adalah hari Minggu. Ibu datang jam 5 pagi, kontraksi sudah teratur dan masih bisa seyum-senyum. Saya periksa pembukaan masih 3 cm. Ibunya masih bisa beraktivitas, tidak kesakitan. Terus saja tersenyum di sepanjang proses persalinannya. Oiya saya lupa Ibu ini dua hari sebelumnya minum obat perangsang yang di berikan oleh tenaga kesehatan untuk menstimulasi kontraksi karena kehamilan sudah lewat HPL dan cairan ketuban sudah berkurang.

Progress persalinan terhitung cepat, jam 7 sudah lengkap. Memilih posisi miring saat melahirkan, mungkin karena nyaman. Ibu berusaha mendorong bayinya. Taraaa!! Kepala sudah lahir dan saya melihat ketuban berwarna hijau pekat (saya pikir ini mekonium) tampak dari permukaan selaput ketuban yang transparan. Kemudian langsung menyobek selaput itu (padahal berniat supaya born in caul*lahir dengan selaput ketuban utuh). Tunggu beberapa saat, tetapi bayi belum juga mau mendorong tubuhnya keluar. Alhasil saya bantu untuk mengeluarkan tubuhnya dengan lembut.

Bayi sudah lahir, tubuhnya merah, gerakannya aktif, denyut jantungnya bagus , namun belum menangis. Saya dan partner saya langsung melakukan upaya untuk membantu agar bayi ini menangis. Saya mengeringkan badan bayi sambil mengusap-usap(merangsang taktil istilah kami), sedang partner saya melakukan suction (menyedot) untuk membantu mengeluarkan mekonium. Tali pusat tidak dipotong, asumsinya walau bayi mendapatkan oksgen dari udara bebas, tetapi BAYI MENDAPATKAN ALIRAN OKSIGEN DARI PLASENTA MELEWATI TALI PUSAT. Sudah dirangsang taktil dan dilakukan suction tetapi bayi belum menangis. Ibu berbalik arah dan mengajak bayi berkomunikasi. Ibu bialang, “ayo dik, nangis dik.” Sambil mengusap badan bayi. Mendengar suara ibunya yang sudah dikenal sejak dalam rahim, bayi langsung merepon dengan rintihan nangis. Kami terharu, dan mengucap syukur. Ibu dan partner kerja saya meleleh dalam tetesan air mata.

Kami terus membantu mengeluarkan lendir dengan mensuction, tetapi tangisnya belum cenger (*istilah Jawa untuk tangisan keras). Keadaan umum baik, jadi diputuskan untuk IMD. Berharap bahwa dengan posisi IMD bayi bisa mengeluarkan lender dengan sendirinya. Dan memang benar, lendir sedikit keluar.

Satu setengah jam kemudian, bayi belum juga menangis secara lepas, namun keadaan umum bagus, tubuh berwarna pink. Memutuskan untuk dirujuk ke RS dengan fasilitas NICU, agar mendapatkan perawatan lebih lanjut. Sampai di RS tujuan, malah ditanya, “Mengapa ini di rujuk, ini kan bayi bagus.” Partner saya menceritakan kronologis persalinan, kemudian dilakukan suction ulang. Kira-kira 4 tabung kecil di dapat dari suction. Bayi tidak di rawat di ruang khusus, dan mendapatkan injeksi antibiotic saja. Setelah 2 hari perawatan boleh pulang.

Saya belajar banyak sekali dari pross persalinan ini, dan percaya bahwa komunikasi antara Ibu dan Bayi memiliki hubungan sangat erat. Penundaan pemotongan tali pusat yang dilakukan sangat membantu proses penyembuhan bayi, karena stem sel yang mengalir dari placenta ke bayi melewati tali pusat akan membantu memperbaiki organ-organ yang rusak saat proses persalinan.

No comments:

Post a Comment